Selamat Datang di Blog Anak Akutansi SMK yamsik

Rabu, 06 Juli 2011

Kematian Yang Indah

Semua orang pasti suatu saat akan mati, entah bagaimana caranya atau seperti apa matinya. Dan setiap orang pasti akan merasakan kematian, walaupun arti “merasakan” itu tidak sama dengan yang dipersepsi oleh orang yang hidup. Kematian adalah salah satu bagian dari kehidupan yang pasti dijalani, sama seperti kelahiran. Bedanya adalah yang pertama menandai akhir dari suatu kehidupan sedangkan yang terakhir menandai awal dari suatu kehidupan. Kelahiran dan kematian bisa diandaikan seperti ujung dari seutas tali yang bernama kehidupan, berbeda titik tetapi terentang sepanjang usia. Dan di tengahnya itulah kehidupan yang ada dan berada.
Kematian adalah suatu misteri. Banyak yang tidak tahu seperti apa dunia sesudah kematian. Tapi banyak juga yang percaya bahwa ada “kehidupan lain”setelah kematian. Banyak juga yang percaya bahwa kematian adalah akhir dari segalanya dan akhir dari eksistensi seseorang, dan setelah itu yang ada adalah ketiadaan. Banyak juga yang percaya bahwa kematian adalah awal dari suatu kehidupan baru dalam suatu bentuk siklus. Apapun kepercayaan yang dianut, tak ada seorang pun yang tahu seperti apa situasi dan kondisi sesudah kematian. Banyak yang mengandaikannya sebagai suatu kondisi “ketiadaan”, bahwa sebuah kematian adalah awal dari suatu ketiadaan, bertentangan dengan kelahiran yang dianggap sebagai awal dari suatu ketiadaan. Materialistik ? Memang benar, tetapi setidaknya itu yang sampai saat ini kita ketahui dengan “common sense” kita sebagai manusia. Dan sisanya adalah kepercayaan.

Bagi orang-orang tertentu, kematian haruslah dihadapi dengan suatu persiapan agar bisa memasuki suatu dunia lain dengan damai. Kematian, bagi mereka, adalah suatu istirahat terakhir dalam damai. Itulah mungkin di batu nisan orang yang telah mati dituliskan “Rest in Peace”, disingkat RIP. Bahwa kematian adalah suatu peristirahatan menuju kedamaian. Damai adalah kelanjutan dan padanan dari mati, karena kematian akan menuju kedamaian. Dan kedamaian adalah dambaan setiap orang, yang jika tidak ditemukan di dunia orang hidup, mungkin bisa ditemukan di “dunia” orang mati.
Orang yang telah mati juga dikatakan “telah meninggal dengan tenang”. Tentunya semua berkeyakinan, walaupun kadang tidak tahu karena bersifat sangat subyektif, bahwa orang yang akan mati “pasti” akan mati dengan tenang. Tidak pernah dikatakan “telah meninggal dengan terburu-buru” atau “telah meninggal dengan marah”, karena ketenangan adalah wajah suatu kematian. Dan walaupun orang yang mati telah mati dengan cara yang dan kondisi yang “tidak tenang”, tentunya mereka yang belum mati mengatakan hal yang lain : telah meninggal dengan tenang. Mungkin ada yang ditakutkan. Mungkin juga tidak siap untuk mati, dan mungkin juga berhubungan dengan kepercayaan.
Tetapi, saya yakin walaupun keyakinan saya ini mungkin juga pengambilan kesimpulan relalu dini, bahwa semua orang ingin kematian bisa dijalani melalui cara yang indah. Beradab dan bukan biadab, “terencana” dan bukan “di luar rencana”. Tentunya bagi orang yang akan mati, cara untuk mati itu sangat penting. Sekali lagi, agar dia bisa menghadapinya dengan tenang. Bagi orang lain juga penting. Tetapi yang ini punya banyak alasan. Ada dengan alasan emosi, keluarga, dan bahkan dengan alasan hak asasi manusia. Tetapi saya yakin, sekali lagi dengan penarikan kesimpulan dini yang sama, bahwa setiap orang didunia ini pasti ingin mati dengan indah, terhormat dan beradab. Caranya bisa berbeda-beda tiap orang. Juga kategori mati dengan cara yang tidak indah, tidak terhormat dan tidak beradab.
Lalu apakah yang terjadi jika kematian tidak terjadi dengan cara yang indah, terhormat, dan beradab ? Sebetulnya tidak terjadi apa-apa. Tetapi bagi orang yang lain, kematian model demikian akan meninggalkan masalah. Masalah bagi perasaan, terutama. Seperti ada sesuatu yang mengganjal. Dan pertanyaannya biasanya : mengapa harus seperti ini ?
Tetapi itulah yang terjadi. Setiap orang bisa merencanakan setiap detail dalam kehidupannya. Mungkin karena dia jagoan dalam hal perencanaan atau jagoan meramal. Tetapi orang tidak akan pernah bisa merencanakan dan meramal kapan dia akan mati dan seperti apa kematian yang harus dilakoninya itu. Semua serba misteri, sama dengan misteri sesudah mati.
Dan kematian, dalam kepercayaan sebagian orang, adalah awal dari suatu kehidupan. Kehidupan setelah mati yang diyakini akan damai dan penuh dengan ketenangan. Seperti suatu kutipan kalimat yang saya sudah lupa didapatkan dari mana, tetapi berbunyi :
when life ends, the mistery of life begins

Senin, 04 Juli 2011

Category:Other
Banyak penafsiran yang kurang tepat atas hadis-hadis selama ini. Dan itu terus berkwmbang dalam masyarakat. Adalah Prof KH Ali Mustafa Yaqub MA, yang mengamatinya, sekaligus berupaya meluruskannya. Ia adalah master lulusan Jurusan Tafsir Hadis Universitas King Saud, Riyad, Arab Saudi (1985).
Salah satu cara yang ia lakukan adalah menerbitkan buku, antara lain berjudul Hadis-hadis Palsu Seputar Ramadhan. KH Ali Mustafa lantas menyebutkan tindakan Nabi Muhammad yang hanya membagi masa Ramadhan yang hanya menjadi dua, menurut hadis riwayat Aisyah. ''Pertama, 1-20, kemudian 21 sampai akhir Ramadhan. Satu sampai 20, Nabi masih biasa-biasa saja. Tapi ketika 21 sampai akhir, itu sudah tancap gas,'' ujar lulusan Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, itu.
Aktivitas ibadah yang meninggi di 10 hari terakhir Ramadhan terjadi karena di situ ada lailatul qadar. ''Jadi untuk mendapatkan lailatul qadar tidak usah dicari di malam-malam ganjil. Sepuluh itu dikerjakan terus, kena kan lailatul qadar. Tapi kalau spekulasi, kadang-kadang meleset,'' kata kiai yang menyelesaikan pendidikan S1-nya di Fakultas Syariah Universitas Islam Imam Muhammad bin Saud, Arab, pada 1980.
Hal ini justru berbeda dengan kebiasaan Muslim Indonesia yang membagi Ramadhan menjadi tiga bagian, dan memburu lailatul qadar di malam ganjil 10 hari terakhir. ''Ada tiga hal yang menjadi ciri khas Nabi dalam 10 hari terakhir. Pertama, beliau selalu membangunkan keluarganya untuk beribadah di masjid. Kedua, beliau sudah tidak mengumpuli istri-istrinya lagi. Dalam bahasa Siti Aisyah itu, sudah mengencangkan sarungnya. Ketiga, setiap malam diisi dengan ibadah. Jadi, 10 hari terakhir diisi dengan ibadah di masjid dan sebagainya. Itu lebih digiatkan dibanding 20 yang pertama,'' papar kiai kelahiran Batang, Jawa Tengah, pada 1952 itu.
Untuk mengetahui lebih jauh sosok yang kini menjadi Imam Besar Masjid Istiqlal, Jakarta, itu, wartawan Republika, Burhanudin Bella, menemuinya di rumah kediamannya di Ciputat, Rabu (27/9) lalu.
Mengapa Anda mendalami ilmu hadis?
Alasannya karena di Indonesia langka orang yang mau mendalami ilmu hadis. Yang fikih banyak, yang tafsir juga. Ilmu hadis ini yang banyak orang tidak berminat. Makanya saya masuk situ sajalah. Ini masalahnya penting juga, sebagai sumber agama kok.
Ada dorongan lain?
Ada juga. Belajar hadis itu lebih nikmat dari pada belajar yang lain. Karena ketika kita mempelajari, seolah-seolah kita sedang berada dengan Nabi. Itu nikmatnya. Saya belajar juga fikih, yang lain-lain juga, tapi tidak senikmat belajar hadis. Selain karena kelangkaan dan kenikmatan, orang kalau belajar hadis akan sering mendapatkan nama Nabi Muhammad. Nah, ketika itu dia akan membaca shalawat. Banyak baca shalawat kan semakin banyak pahalanya.
Kalau di sini kurang ahli hadis, bagaimana Anda memperkaya pengetahuan itu?
Pertama saya pernah belajar secara formal. Kedua, saya masih punya guru di Saudi Arabia, dan saya selalu konsultasi, di samping saya membaca kitab. Kalau ada satu hal yang musykil bagi saya, baru konsultasi dengan guru saya.
Rujukan ilmu hadis kan susah?
Betul. Tapi saya katakan, sekarang lebih bagus dibandingkan dengan 20-30 tahun lalu. Dulu kita tahunya cuma Bukhari-Muslim saja. Yang lain sulit. Tapi sekarang mencari kitab-kitab seperti Abu Daud, Tarmidzi, an-Nasa'i, dan sebagainya sudah banyak. Jadi ada perkembangan ilmu hadis di Indonesia, cuma mungkin tidak laris.
Jika sudah banyak buku hadis, tapi mengapa masih banyak hadis keliru yang dipakai?
Orang nggak mau belajar ilmu hadis. Kedua, ada fanatisme. Ada orang yang memanfaatkan buku saya bukan main. Saya dapat laporan, ada yang sampai seluruh buku saya dia kumpulkan. Tapi ada juga yang ketika membaca buku saya, disebut ini hadis adalah palsu, dia bilang, 'Kata guru saya nggak. Guru saya memakai hadis itu, ya saya ikuti. Di buku itu kan pengarangnya bukan guru saya'. Nah, ada yang seperti itu juga.
Apa reaksi Anda?
Biarlah seperti itu. Yang penting saya sudah menyampaikan untuk meluruskan hal-hal yang tidak tepat di masyarakat.
Ada yang mengecam Anda?
Mengecam ya, tidak. Tapi dalam pengertian mengoreksi biar lebih bagus, itu banyak sekali. Dan itu bagus, hingga terbitan berikutnya saya perbaiki. Salah kata, dan sebagainya.
Yang Anda tulis hadis keliru, tidak ada yang membantah?
Tidak ada. Sampai sekarang, saya justru kalau ada orang yang mau membantah, silakan. Itu ilmu bagi saya. Asal dia punya argumen yang kuat. Tapi kebanyakan tidak sampai situ.
KH Mustafa telah menulis 20 buku sejak 1986. Saat ini ada satu buku lagi dalam proses penyuntingan. Ia selalu memegang teguh pesan gurunya, yangkemudian ia jadikan sebagai falsafah hidupnya. ''Dia bilang, jadilah kamu orang yang dibutuhkan oleh masyarakat,'' kata Mustafa.
Maka, ia merasa perlu mencerahkan masyarakat. Adanya banyak hadis palsu yang beredar dandiyakini kebenarannya oleh banyak orang, mendorong Mustafa untuk meluruskannya. ''Sebab, orang kalau sudah dikatakan ini hadis, dia percaya itu adalah sabda Rasul, kemudian dipegang erat-erat. Padahal belum tentu yang disebut hadis itu benar-benar memenuhi syarat sebagai sebuah hadis yang valid. Banyak sekali, tapi yang saya tulis hanya yang berkembang dalam masyarakat,'' jelas dia.
Banyak orang salah memahami hadis. Sebagai ahli hadis, apa yang Anda lakukan?
Di Indonesia, langka yang dapat disebut sebagai ahli hadis. Karena itu banyak ulama, terutama mubalig-mubalig, menyampaikan hadis ternyata hadisnya itu palsu. Untuk memperbaiki itu, perlu waktu. Saya merasa berkewajiban meluruskan. Saya tidak menyalahkan mereka, mungkin mereka tidak tahu. Ya, salah satu cara saya untuk memberikan pelurusan dalam hal ini, pertama saya menulis. Itu melalui tulisan, ceramah-ceramah, dan sebagainya. Baik di buku, di majalah, di koran. Makanya terus terang, saya menulis buku tidak melihat royalti bagaimana. Yang penting menyebar ke masyarakat dan bermanfaat buat mereka. Itu yang penting. Kedua, untuk mengkader orang-orang yang ahli hadis, saya bikin pesantren (Darus-Sunnah, high institute for hadith science) tingkat S-1. (Bahasa pengantar di pesantren ini adalah Bahasa Arab). Itu mulai 1997 dan sudah wisuda empat kali, sudah mengeluarkan 66 sarjana ilmu hadis.
Sengaja memilih media buku?
Bagi saya, ilmu yang disebarkan melalui tulisan itu lebih awet dan lebih efektif. Memang kadang-kadang perkembangannya lambat, tapi pasti. Lain dengan ilmu yang disampaikan melalui ceramah, seketika kayak bom, tapi hilang setelah itu. Yang menarik bagi saya, kenapa saya punya keinginan yang tinggi untuk menulis? Ketika saya menulis tesis MA, saya mendapatkan referensi yang orangnya tidak terkenal sama sekali. ''Ini orang sudah meninggal 10 abad lalu, masih dibaca bukunya di perpustakaan.'' Kemudian ada syair yang menyebutkan, ''Karya tulis kekang sepanjang masa, sementara penulisnya hancur di bawah tanah. Ini berarti, orang punya buku meskipun sudah mati, itu mendapat 'kiriman' terus. Kenikmatannya seperti itu.
Sejak mahasiswa Anda sudah berniat menulis buku?
Justru ketika mahasiswa. Dulu saya belajar di Arab Saudi 9 tahun, S-1 dan S-2 di sana. Saya mencoba apakah tulisan saya dibaca orang atau tidak. Saya coba kirim dulu ke majalah Panji Masyarakat, 1977. Terus kirim ke Kiblat. Udah, setelah dimuat di Panji Masyarkat dimuat di Kiblat, saya tidak meneruskan menulis, tapi saya belajar dulu, biar lebih konsen. Tapi dengan dimuatnya tulisan saya itu, berarti tulisan saya sudah layak terbit. Itu jadi modal saya, saya kemudian belajar saja. Setelah selesai belajar, kemudian mulai menulis. Dan saya wariskan kepada santri-santri Darus-Sunnah, 'kamu jangan mati sebelum menulis buku'. Alhamdulillah sudah banyak yang menulis buku. Bahkan ada yang lebih banyak dari saya.
Anda senang?
Saya merasa bersyukur. Berarti, ibarat saya menanam, tumbuh subur. Bukan saya merasa disaingi, saya bersyukur.
Salah satu buku Anda berjudul Haji Pengabdi Setan...
Rasulullah punya kesempatan untuk haji tiga kali, mengapa haji cuma satu kali? Rasulullah punya kesempatan umrah, ratusan bahkan ribuan kali. Tapi umrah yang sunah hanya dua kali, tiga kali dengan yang gagal. Apa sebabnya? Mestinya kita berpikir itu. Seandainya umroh berkali-kali, haji berkali-kali sesuatu hal yang afdal dari pada ibadah yang lain, mungkin Rasulullah sudah mengerjakan.
Saya mencoba mencari jawabannya, ternyata di Medinah saat itu banyak anak-anak yatim akibat perang. Banyak janda-janda yang memerlukan santunan, banyak mahasiswa yang tidak punya apa-apa, yang belajar rutin dengan nabi. Ini kan memerlukan santunan.
Uang Rasullullah dan para sahabat disalurkan untuk menyantuni mereka. Bukan untuk haji berkali-kali dan bukan untuk umrah berkali-kali. Itu adalah ibadah sosial, lebih utama dari pada ibadah individual. Dalam bahasa fiqihnya, ''Ibadah yang dirasakan manfaatnya oleh orang lain di samping oleh pelakunya lebih utama dari pada ibadah yang hanya dirasakan oleh pelakunya saja.
Makanya Rasulullah lebih memprioritaskan ibadah-ibadah sosial. Tapi kita tidak. Kita cenderung ingin haji tiap tahun, ingin umrah tiap bulan. Saya pikir, itu tuntunan dari siapa? Apakah Allah memberikan tuntunan, apakan nabi memberikan tuntunan, tidak. Lalu tuntutan dari siapa? Dari bisikan hawa nafsu melalui setan. Makanya saya bikin buku namanya Haji Pengabdi Setan. Jadi saya sampai heran ada masjid buat brosur, siapa yang mampu ke Mekkah bulan Ramadhan supaya Anda harus pergi umrah. Ternyata setelah saya lihat, itu oh kong sungai (kali) kong dengan biro travel. Sudah tidak beres kalau begitu, sudah tidak benar lagi. Justru Rasulullah itu tidak pernah, apalagi mengirim jamaah untuk umrah Ramadhan. Umrah Ramadhan saja tidak pernah kok.
KH Ali Mustafa merasa prihatin dengan maraknya orang berhaji/berumrah berkali-kali. ''Saya dengar tahun lalu ada 5.000-10 ribu orang yang umrah. Katakan 5.000, seorang mengeluarkan biaya Rp 30 juta - Rp 50 juta. Ambil Rp 40 juta saja, berarti sudah Rp 200 miliar. Kalau dana itu kita pakai untuk mengentaskan kemiskinan, mungkin dalam beberapa tahun sudah terentas kemiskinan di Indonesia,'' kata mantan ketua Perhimpunan Pelajar Indonesia (PII) di Riyadh itu.
Ia pun menyoroti berkembangnya kegemaran umrah di bulan Ramadhan, dan merasa perlu meluruskannya pula. ''Saya pernah membaca sebuah selebaran di sebuah masjid, di situ ditulis bahwa bagi yang mampu ke Makkah, harus pergi ke Makkah untuk umrah. Rasulullah itu tidak pernah menjalankan umrah Ramadhan itu,'' ujar ketua Lembaga Pengkajian Hadis Indonesia itu.
Ia lantas menjelaskan bahwa Nabi hanya berumrah dua kali. Pertama di tahun keenam, tapi gagal karena Makkah masih dikuasai orang musyrik. Kemudian atas perjanjian dengan orang musyrik, boleh umrah di tahun ketujuh. Kedua, umrah lagi tahun kedelapan. ''Dan itu umrahnya bukan di bulan puasa. Nah, baru yang ketiga, Rasulullah umrah bersama haji itu pada tahun kesepuluh, tahun kesebelas Rasulullah wafat,'' papar dosen di berbagai perguruan tinggi Islam, seperti Institut Ilmu Alquran (IIQ), Institut Studi Ilmu Alquran (ISIQ/PTIQ), Sekolah Tinggi Islam Dakwah (STIDA) Al-Hamidiyah, dan IAIN Syarif Hidayatullah --sekarang UIN itu.
Menurut Kiai Ali Mustafa, memang ada hadis yang mengatakan, umrah dalam Ramadhan itu sama dengan haji. Tapi kalau hanya ingin meraih pahala, menurut Kiai Ali Mustafa, ada ibadah yang lebih murah lagi, pahalanya persis umrah dan haji, 'sempurna' kata Rasullulah. ''Ada hadis 'Siapa yang Shalat Subuh berjamaah kemudian duduk di tempat shalatnya untuk berdzikir kepada Allah sampai terbit matahari, kemudian setelah terbit matahari shalat dua rakaat, maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala haji dan umrah secara sempurna','' jelas anggota Majelis Ulama Indonesia ini.
Tapi, kata Kiai Ali Mustafa, orang tidak mau melakukan hal ini, sebab tidak akan ketahuan orang. ''Makanya orang pada umrah, panggil wartawan, bawa video, nanti diberikan kepada televisi supaya disiarkan. Itu yang menjadi masalah. Saya dapat info dari kawan-kawan, mereka yang senang umroh itu rata-rata orang-orang yang pelit untuk infak. Padahal infak itu nilainya jauh lebih tinggi dari pada ibadah umrah. Tapi infak tidak diketahui orang,'' tutur dia.
Bagaimana Anda memaknai Ramadhan?
Yang paling bagus dalam memaknai Ramadhan ialah memenuhi petunjuk Rasulullah SAW. Rasulullah dalam berpuasa, baik untuk sahur atau buka, itu tidak mengada-adakan. Bahkan dalam puasa sunnah, misalnya, pernah Rasulullah bertanya kepada Aisyah, ''Hai Aisyah, sarapan apa pagi ini?''
''Tidak ada apa-apa, ya Rasullulah.''
''Kalau begitu saya puasa aja.''
Ini menunjukkan, keseharian beliau dalam berpuasa sama dengan keseharian di luar puasa. Kita tampaknya untuk makan ini justru menjadi perhatian sangat menonjol. Ada makanan khas Ramadhan, makanan kaget. Ada makanan yang tidak pernah muncul kecuali Ramadhan. Macam-macamlah. Bahkan banyak kegiatan sebelum Ramadhan datang.